Jakarta – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspek-PIR) belakangan ini khawatir dengan nasib petani plasma di Indonesia.
Ini buntut dari status kawasan hutan yang justru jadi momok menakutkan bagi petani belakangan ini.
Ketua Umum Aspek-PIR, Setiyono menjelaskan bahwa petani plasma dilahirkan oleh pemerintah melalui program transmigrasi dengan regulasi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
“Sampai saat ini kebun petani masyarakat bahkan sudah dilengkapi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sudah puluhan tahun dikelola oleh petani,” jelasnya dalam gelaran FGD Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Rabu (7/5).
Namun anehnya, lanjut Setiyono, belakangan kebun itu justru masuk dalam kawasan hutan yang justru menjadi penghambat proses peremajaan sawit rakyat.
Sebab salah satu syarat pengajuan dana hibah ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk peremajaan adalah di luar kawasan hutan.
“Aspek-PIR berharap pemerintah memberikan kepastian penyelesaian yang berkeadilan terhadap kebun kelapa sawit milik petani pola PIR yang lahir dari program transmigrasi, agar para petani sawit plasma memperoleh kepastian akan hak-haknya,” tandasnya.
Sementara untuk diketahui, saat ini pemerintah juga telah membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk melakukan penindakan kebun yang diklaim masuk dalam kawasan hutan.
Satgas ini melakukan penindakan berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.(elaeis.co)